Fikri Faqih: Asesmen Nasional Berbau Politis dan SARA

28-07-2021 / KOMISI X
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. Foto: Azka/Man

 

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menilai program Asesmen Nasional (AN) yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud- Ristek) untuk mengevaluasi sistem pendidikan menggantikan Ujian Nasional (UN) yang sudah dihapus, berbau politis dan SARA. Menurutnya, AN seharusnya memberi gambaran atas lingkungan belajar para peserta didik.

 

Pandangan kritis Fikri dalam rilisnya kepada Parlementaria, Rabu (28/7/2021) mengingatkan, AN merupakan program yang digadang-gadang merupakan terobosan baru Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim. Namun, program ini malah bisa mengurangi kepercayaan publik. Penilaian berbau SARA dan politis tersebut, kata Fikri, terungkap dalam contoh pertanyaan survei yang sudah beredar luas.

 

Misalnya, "Saya lebih senang jika sekolah dipimpin oleh orang dengan agama/ kepercayaan yang sama dengan saya?" Ada lagi pertanyaan politis seperti "Presiden lebih baik dijabat seorang laki-laki daripada perempuan?" Begitulah dua contoh pertanyaan dalam AN yang dinilai Fikri cukup mengganggu.

 

“Program perintis ini  jangan sampai carut marut di awal kelahirannya, sehingga mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah lagi,” pungkas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. Pertanyaan yang beredar tersebut, lanjut Fikri, mirip survei jelang pemilihan presiden.

 

Sudah ada keluhan dari partisipan survei seperti guru dan kepala sekolah soal ini. “Pertanyaan dalam survei dianggap lebih menjurus ke preferensi politik dan SARA," papar legislator dapil Jawa Tengah IX ini. Dijelaskannya, AN versi Kemendikbud-Ristek meliputi tiga komponen, yakni asesmen kompetensi minimum (AKM) literasi dan numerasi, survei karakter; dan survei lingkungan belajar.

 

Lebih jauh, Fikri menyinggung soal dasar hukum penyelenggaraan AN, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang katanya sudah ditarik untuk direvisi. “PP ini krusial, karena jadi dasar hukum untuk penyelenggaraan AN. Mas Nadiem sendiri yang bilang mau diajukan revisi” ujar Fikri. Bila dasar hukumnya masih dalam proses, pelaksanaan AN pun akan bermasalah. 

 

Fikri mendesak agar revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 melibatkan para pemangku kepentingan pendidikan. PP Nomor 57 Tahun 2021 dinilai tidak menghormati dasar negara sebagai alat pemersatu bangsa. PP tersebut juga tidak memuat mata pelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan. (mh/sf)

BERITA TERKAIT
Furtasan: Perlu Redesain Sekolah Rakyat agar Lebih Tepat Sasaran
20-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi X DPR RI menyoroti pelaksanaan program Sekolah Rakyat yang menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo...
Fikri Faqih Terima Aspirasi Forum Guru Honorer dan PPPK di Jateng, Berharap Solusi Atas Persoalan Kepegawaian
17-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Keresahan tengah dirasakan ratusan guru honorer dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Jawa Tengah. Persoalan...
Once Mekel Apresiasi Terbitnya Permenkum Royalti, Fondasi Hukum Pertunjukan dan Musisi Nasional
17-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI, Elfonda Mekel, menyampaikan apresiasi atas terbitnya beleid Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) Nomor...
Pidato Presiden Tempatkan Pendidikan, Kesehatan, dan Keadilan Sosial Fondasi Utama Indonesia Emas 2045
15-08-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyampaikan apresiasi yang tinggi atas pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia,...